TIRTA
Oleh M. Hisyam Kudadiri
Namaku Tirta. Aku adalah kehidupan. Wujudku selalu berubah. Kadang-kadang menggantung di awan mendung. Sesekali menerjang bersama gerimis. Pernah juga membeku menjadi tumpukan salju. Tapi jumlahku senantiasa tetap. Tempatku saja yang berpindah-pindah.
Hari itu hujan amat panjang. Aku mengalir. Menelusup ke bambu-bambu pancuran air milik warga desa. “Ah… hujan terus harinya. Mencuci sih enak, airnya banyak. Tapi menjemur? Huuuhh!!!” keluh seorang ibu ketika aku memasuki ember cuciannya. Aku mengalir. Kali ini memancur ke kamar mandi sebuah surau. “Tuhan! Sungguh hujan ini adalah rahmat. Jangan Kau menjadikannya musibah!” doa seorang kiai tua ketika selesai membasuh wajahnya dengan aku. Aku tak habis pikir, kenapa orang-orang di tempat ini sering sekali memuja Tuhan. Berbeda denganku. Menurutku, Tuhan tak adil. Unsur-unsur lain Dia ciptakan menjadi makhluk-makhlukNya yang hebat. Cahaya, Dia rajut menjadi malaikat. Api, Dia kobarkan menjadi iblis. Lalu tanah, dengan tanganNya sendiri, Dia ciptakan menjadi manusia, sang khalifah di muka bumi. Sementara aku? Aku tak pernah menjadi unsur utama. Aku Cuma pelengkap. Tak lebih.
Aku bersiap-siap mengalir bersama hujan. Aku sudah begitu membeku di awan hitam. Hanya tinggal menunggu titik kulminasi. “Duaaarr…” langit bergemuruh. Aku turun dan jatuh di sebuah sungai. Perjalanan terasa amat panjang. Aku tersedot pipa-pipa perusahaan air ledeng. Diputar-putar entah beberapa kali. Lalu disalurkan ke sebuah hotel. Kemudian aku tak sadarkan diri. Yang kutahu, mereka menjadikan tubuhku begitu panas. Lalu mencampurku dengan beberapa sendok bubuk putih dan butiran-butiran kristal manis hingga aku mengental.
“Mas Herman! Bukankah Mas mencintaiku?”
“Ya, sangat, Shinta sayang.”
“Lalu, kenapa tidak Mas nikahi saja aku?”
“Sudahlah. Tak perlu membicarakan hal itu. Yang penting aku selalu memberi uang yang banyak kepadamu, bukan?”
“Ah… Mas tahu saja.”
Dari dalam gelas, aku menyaksikan dengan sangat jelas dialog kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu. Aku juga tahu kalau mereka adalah pasangan selingkuh. Aku tak habis pikir, kenapa mereka dan pasangan-pasangan manusia lainnya doyan sekali bersetubuh. Bukankah itu hanya menggesek-gesekkan beberapa bagian tubuh mereka saja antara satu dengan yang lain. Lalu, apa enaknya? Entahlah. Apa mungkin karena Tuhan memberikan nafsu kepada mereka, sedangkan kepadaku tidak? Sekali lagi, aku berpikir kalau Tuhan memang tak adil.
“Ayo, Mas! Minum dulu susunya!”
“OK, Sayang. Tapi setelah itu, kita beraksi, ya?”
Bangsat! Mereka meninumku seperti setan kehausan.
***
Baca lebih lanjut →
Filed under: Cerpen | 3 Comments »